Unsur-unsur Pembangun Novel
Novel merupakan karya fiksi yang pada umumnya menyajikan dunia yang dikreasikan pengarang melalui kata dan kata-kata. Keindahan novel tampak dari keterjalinan kata, kata-kata dan bahasa sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Secara tradisional Nurgiyantoro (2009: 23) membagi unsur-unsur pembangun novel menjadi dua, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik.
Unsur Ekstrinsik menurut
Nurgiyantoro (2009: 23) adalah unsur yang berada di luar karya fiksi yang mempengaruhi
lahirnya karya namun tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu sendiri.
Sebelumnya Wellek dan Warren (1956 via Nurgiyantoro,
2009: 23) juga berpendapat bahwa unsur ektrinsik merupakan keadaan
subjektivitas pengarang yang tentang sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang melatarbelakangi lahirnya suatu
karya fiksi, dapat dikatakan unsur biografi pengarang menentukan ciri karya
yang akan dihasilkan.
Unsur Intrinsik merupakan
unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada
novel unsur intrinsik itu berupa, tema,
plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Berikut ulasan
unsur-unsur intrinsik novel.
a. Tema
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70). Stanton (via Nurgiyantoro, 2009: 70) menjelaskan bahwa tema dapat juga disebut ide utama atau tujuan utama. Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita. Oleh karena itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan sub-subtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel. Tema pokok adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema tersebut. Maka pembaca harus dapat mengidentifikasi dari setiap cerita dan mampu memisahkan antara tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70). Stanton (via Nurgiyantoro, 2009: 70) menjelaskan bahwa tema dapat juga disebut ide utama atau tujuan utama. Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita. Oleh karena itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan sub-subtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel. Tema pokok adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema tersebut. Maka pembaca harus dapat mengidentifikasi dari setiap cerita dan mampu memisahkan antara tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.
Tema menurut Nurgiyantoro
(2009: 77) dapat digolongkan menjadi dua, tema tradisional dan nontradisional.
Tema tradisional adalah tema yang biasa atau sudah diketahui secara umum oleh
masyarakat. Tema ini banyak digunakan dalam berbagai cerita seperti, kebenaran dan keadilan mengalahkan
kejahatan, kawan sejati adalah kawan di masa duku, atau setelah menderita orang baru mengingat
Tuhan. Tema tradisional bersifat universal dan novel-novel serius sering
menggunakan tema tradisional dalam menyajikan kisah-kisahnya. Tema selanjutnya
adalah tema nontradisional. Tema nontradisional adalah lawan dari tema
tradisional yang artinya tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca atau
melawan arus. Pada dasarnya pembaca menggemari hal-hal yang baik, jujur,
kesatria, atau sosok protagonis harus selalu menang, namun pada tema
nontradisional tidak seperti itu.
b. Plot
Plot merupakan hubungan
antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinan peristiwa secara
kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Stanton (via Nurgiyantoro, 2009: 113) juga berpendapat bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian yang di dalamnya terdapat hubungan sebab
akibat. Suatu peristiwa disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang
lain. Plot juga dapat berupa cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, berasa, dan mengambil sikap terhadap masalah yang
dihadapi.
Pengembangan plot dalam
cerita didasarkan pada peristiwa, konflik, dan klimaks. Tiga unsur penentu plot
ini memiliki keterkaitan yang rapat. Kemenarikan cerita tergantung dari ketiga
unsur ini.
Luxemburg dkk (via Nurgiyantoro, 2009: 117) menjelaskan
bahwa peristiwa adalah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
Peristiwa juga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu peristiwa fungsional, kaitan,
dan acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang menentukan atau mempengaruhi
perkembangan plot. Keterjalinan peristiwa fungsional adalah inti cerita dari
sebuah novel atau karya fiksi. Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi
sebagai pengait peristiwa-peristiwa penting. Seperti perpindahan dari
lingkungan satu ke lingkungan yang lain. Peristiwa yang terakhir adalah
peristiwa acuan. Peristiwa acuan merupakan peristiwa yang berhubungan dengan
kejelasan perwatakan atau suasana yang terjadi di batin seorang tokoh dalam
cerita (Nurgiyantoro, 2009: 116).
Unsur penentu plot
berikutnya adalah konflik. Konflik menurut Wellek dan Warren (via Nurgiyantoro, 2009: 122) sesuatu yang dramatik dan mengarah pada
pertarungan antara dua kekuatan serta menyiratkan aksi-aksi balasan. Konflik
merupakan peristiwa, peristiwa-peristiwa berikut dapat konflik eksternal dan
konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi pada seorang
tokoh dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Konflik eksternal dapat
dibagi menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik
adalah konflik yang ditandai dengan adanya permasalahan seorang tokoh dengan
lingkungan alam. Sedangkan konflik sosial adalah konflik yang muncul karena
adanya permasalahan dengan tokoh lain atau permasalahan yang berkenaan dengan
hubungan antarmanusia.
Unsur penentu plot yang
terakhir adalah klimaks. Klimaks merupakan bagian dari konflik. Pertemuan
konflik yang terjadi dalam cerita, apapun jenisnya ketika sampai pada titik
puncak akan menyebabkan klimaks (Nurgiyantoro, 2009: 126).
Dalam plot terdapat kaidah
yang harus dipenuhi, yaitu plausibilitas (plausibility),
kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity). Beberapa unsur tersebut
berfungsi untuk pengembangan plot dan membawa pembaca kepada fakta di dalam
cerita serta memikat agar pembaca menuntaskan ceritanya.
Kaidah plot yang pertama adalah plausibilitas. Plausibilitas adalah sifat cerita yang disajikan dalam novel atau karya fiksi yang dapat dipercaya oleh pembaca. Sifat plausibilitas muncul jika hal-hal yang ada dalam cerita dapat diimajinasikan dan dipertanggungjawabkan. Plausibilitas dalam cerita bisa didapatkan dengan mengaitkan realitas di kehidupan nyata atau kreativitas imajinatif pengarang tetap dengan syarat, dapat dipertanggungjawabkan (Stanton, 1965: 13 via Nurgiyantoro, 2009: 131).
Kaidah plot yang pertama adalah plausibilitas. Plausibilitas adalah sifat cerita yang disajikan dalam novel atau karya fiksi yang dapat dipercaya oleh pembaca. Sifat plausibilitas muncul jika hal-hal yang ada dalam cerita dapat diimajinasikan dan dipertanggungjawabkan. Plausibilitas dalam cerita bisa didapatkan dengan mengaitkan realitas di kehidupan nyata atau kreativitas imajinatif pengarang tetap dengan syarat, dapat dipertanggungjawabkan (Stanton, 1965: 13 via Nurgiyantoro, 2009: 131).
Suspense dalam plot merupakan unsur yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu
pembaca terhadap novel atau karya fiksi. Ketika pembaca menikmatai kisah yang
disajikan dan enggan berhenti, hal itu menandakan unsur suspense dalam karya fiksi tersebut terjaga dan selalu menarik
keingintahuan pembacanya. Unsur suspense
biasanya berada pada perasaan pembaca yang tidak mengetahui atau bimbang dalam
menentukan kelanjutan cerita (Nurgiyantoro, 2009: 134).
Unsur surprise dalam plot
merupakan unsur yang berdampingan dengan suspense.
Abrams (1981: 138 via Nurgiyantoro,
2009: 136) menyatakan bahwa surprise adalah
unsur yang bersifat mengejutkan dan pada umumnya menyimpang atau bertentangan
dengan harapan pembaca. Berdasarkan hal tersebut pembaca akan tetap setia dan
menyelesaikan karya fiksi tersebut.
Unsur yang terakhir dalam
kaidah pemplotan adalah unity. Unity atau kesatupaduan kaidah pemplotan adalah aspek keterjalinan
yang padu antara unsur-unsur yang disajikan, seperti peristiwa-peristiwa,
konflik-konflik, dan seluruh pengalaman kehidupan yang harus memiliki
keterkaitan satu sama lain.
1) Kriteria Plot
Plot atau alur dapat
dibedakan menjadi beberapa kriteria seperti urutan waktu, jumlah, dan
kepadatan. Kriteria-kriteria tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur pembentuk
plot sebelumnya melainkan ada didalam kriteria-kriteria tersebut.
a) Kriteria Plot Berdasarkan Urutan Waktu
Kriteria plot berdasarkan
urutan waktu merupakan teknik yang digunakan pengarang untuk menyajikan urutan
peristiwa dalam cerita berdasarkan urutan waktu kejadian. Dalam kriteria plot
yang terkait dengan urutan waktu ini, plot dibagi menjadi dua jenis, kronologis
dan tak kronologis. Kronologis dapat disebut pula plot progresif, lurus, atau
maju. Plot tak kronologis dapat disebut pula plot regresif, sorot balik,
mundur, dan campuran.
Plot progresif atau
kronologis merupakan plot yang mengisahkan peristiwa-peristiwa dengan ditandai
adanya sebab dan akibat atau diceritakan secara runtut dimulai dari tahap awal
(penyituasian, pengenalan, pemunculan, dan konflik), tengah (konflik meningkat,
klimaks), dan akhir (penyelesaian). Karya fiksi yang menggunakan jenis plot ini
cenderung mudah diikuti jalan ceritanya karena sifatnya yang sederhana dan
tidak berbelit-belit (Nurgiyantoro, 2009: 154)
Berbeda dengan plot
progresif, plot regresif adalah plot yang urutan kejadiannya diceritakan tidak
kronologis, cerita dalam novel dapat dimulai dari tahap tengah maupun akhir.
Plot seperti ini langsung membawa pembaca pada kejadian yang tidak diketahui
asalnya. Biasanya plot jenis ini lebih tegas menceritakan dengan menghilangkan
bagian-bagian yang tidak perlu. Sehingga pembaca lebih memiliki ketertarikan
untk mengetahui kelanjutan cerita yang mengarah pada sebab atau awal cerita.
Plot berdasarkan urutan
waktu yang terakhir adalah plot campuran. Plot campuran adalah plot yang
menyusun cerita dengan tidak maju maupun mundur. Plot campuran dalam
peenyusunan cerita tidak mutlak mundur namun tidak juga kronologis. Cerita
disajikan dapat dimulai dari tahap tengah dengan cerita yang tidak penuh, lalu
tahap awal sebagian, kembali ke tahap tengah, lalu ke awal, kemudian tahap
akhir. Hal tersebut hanya sebagai contoh. Pengarang dapat berkreasi dalam
menentukan alur untuk menarik selera pembacanya.
b)
Kriteria Plot Berdasarkan Jumlah
Kriteria plot berdasarkan
jumlah adalah banyaknya plot yang terdapat pada sebuah karya fiksi. Dalam karya
fiksi bisa terdapat satu plot atau mengandung beberapa plot. Berdasarkan
kriteria jumlah, plot dibedakan menjadi dua, yaitu plot tunggal dan
sub-subplot.
Plot tunggal merupakan
plot yang biasanya hanya mengembangkan satu cerita dengan seorang tokoh
protagonis. Plot jenis ini hanya menyoroti satu tokoh dengan
permasalahan-permasalahannya. Kehadiran disetiap konflik harus dihadiri oleh
tokoh protagonis.
Plot yang berikutnya
adalah plot sub-subplot. Pada plot ini karya fiksi menyajikan plot atau alur
yang lebih dari satu. Dalam cerita akan terdapat satu plot utama dengan satu
atau lebih plot tambahan. Plot tambahan atau subplot ini adalah bagian dari
plot utama yang bersifat memperjelas dan memperluas pandangan pembaca terhadap
plot utama dengan mendukung keseluruhan cerita (Abrams, 1981: 138 via Nurgiyantoro, 2009: 158).
c)
Kriteria Plot Berdasarkan Tingkat Kepadatan
Plot ini merupakan plot
yang menjelaskan sebuah karya fiksi tentang bagaimana tingkat kepadatan atau
keterjalinan cerita dalam sebuah karya fiksi. Pada kriteria plot berdasarkan
kepadatannya, plot dibagi menjadi dua, tingkat kepadatan/ kerapatan dan
longgar/ renggang. Berikut ulasan tentang plot berdasarkan tingkat
kepadatannya.
Plot padat atau rapat
adalah plot yang menyajikan peristiwa
secara cepat dan bersifat fungsional. Peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam
plot ini tidak dapat dipenggal atau dihilangkan karena sifatnya yang fungsional
tinggi, sehingga jika satu peristiwa saja dihilangkan, pembaca akan kehilangan
cerita, tidak memahami sebab akibat, bahkan tidak dapat mengerti isi
keseluruhan cerita (Nurgiyantoro, 2009: 159).
Plot longgar atau renggang
adalah plot yang menyajikan pergantian peristiwa dengan lambat dan memiliki
hubungan antar peristiwa yang tidak erat. Plot longgar ditandai dengan adanya
sela pada keterjalinan peristiwa sehingga dapat disisipi oleh peristiwa
tambahan.
b.
Penokohan
Penokohan dalam novel
adalah unsur yang sama pentingnya dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan
adalah teknik bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga
dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh (Siswandarti, 2009: 44). Unsur
penokohan mencakup pada tokoh, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam cerita (Nurgiyantoro, 2009: 166). Berikut ulasan tentang
unsur-unsur penokohan.
1)
Tokoh
Tokoh rekaan dalam sebuah
karya fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan tersebut
didasarkan pada sudut pandang dan tinjauan seperti, tokoh utama, tokoh
protagonis, tokoh berkembang, dan tokoh tipikal.
a)
Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh
yang diutamakan penceritaannya dalam novel. Tokoh yang paling banyak
diceritakan, sering hadir dalam setiap kejadian, dan berhubungan erat dengan
tokoh-tokoh lain. Tokoh utama kemungkinan ada lebih dari satu dalam sebuah
novel. Kadar keutamaannya ditentukan dengan dominasi penceritaan dan
perkembangan plot secara utuh. Sedangkan tokoh tambahan merupakan lawan dari
tokoh utama. Tokoh tambahan lebih sedikit pemunculannya dalam cerita dan
kehadirannya hanya ada permasalahan yang terkait tokoh utama (Nurgiyantoro,
2009: 177).
b)
Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Berdasarkan fungsi
penampilannya dalam cerita tokoh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Altenberd dan
Lewis (via Nurgiyantoro, 2009: 178) mengemukakan
bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi dan sering dijadikan pahlawan
yang taat dengan norma-norma, nilai-nilai sesuai dengan konvensi masyarakat.
Berbeda dengan Protagonis,
tokoh antagonis merupakan tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis. Tokoh
antagonis tidak banyak digemari karena banyak menganut nilai-nilai penyimpangan.
c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana adalah
tokoh yang hanya memiliki satu perwatakan tertentu, kepribadian yang tunggal,
dan tidak memungkinkan terjadi perubahan pandangan tentang sifat yang yelah
dianutnya. Tokoh sederhana mudah diidentifikasi oleh pembaca karena kedataran
sifat dari tokoh tertentu ketika menghadapi permasalahan (Nurgiyantoro, 2009:
182).
Selain tokoh sederhana,
terdapat pula tokoh bulat. Tokoh bulat atau tokoh kompleks merupakan tokoh yang
memungkinkan memiliki watak yang bermacam-macam dan sering kali sulit diduga
atau diprediksi. Tokoh ini memberi kejutan kepada pembaca karena memiliki
beberapa kemungkinan tindakan dan penyikapan terhadap suatu permasalahan
(Abrams, 1981: 20-1 via Nurgiyantoro,
2009: 183).
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Berdasarkan berkembang
atau tidaknya perwatakan pada tokoh-tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi
tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak
mengalami perubahan watak walaupun menghadapi permasalahan-permasalahan dalam
cerita (Altenberd dan Lewis, 1966: 58 via
Nurgiyantoro, 2009: 188). Tokoh berkembang adalah tokoh yang memiliki
perkembangan watak sesuai dengan peristiwa dan alur cerita yang mempengaruhi
tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2009: 188).
Nurgiyantoro (2009: 189)
menjelaskan bahwa pada tokoh statis terdapat dua tokoh, yaitu tokoh hitam dan
putih. Tokoh hitam yang dimaksud adalah tokoh yang berwatak jahat dan tokoh
putih adalah tokoh yang berwatak baik. Kedua tokoh tersebut dari awal
kemunculan hingga akhir memiliki watak maupun penyikapan yang tetap dan saling
berlawanan.
e)
Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan pencerminan
tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh tipikal dan tokoh
netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang dicerminkan melalui status sosialnya seperti
profesi, kebangsaan, dan sesuatu yang terkait dengan lembaga atau yang
menggambarkan eksistensinya (Altenberd dan Lewis, 1966: 60 via Nurgiyantoro, 2009: 190). Tokoh netral adalah tokoh yang hadir
dalam cerita tanpa ada unsur keterkaitan status yang ada pada seseorang di
dunia nyata. Kehadirannya berupa pelaku murni imajinasi pengarang dan yang
mempunyai cerita dalam novel (Nurgiyantoro, 2009: 191).
Dalam karya fiksi terdapat beberapa teknik pelukisan tokoh. Pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro (2009: 194) adalah sarana untuk menggambarkan perwatakan para tokoh cerita dengan mempertimbangkan aspek keartistikan, menyeluruh, dan padu. Pengarang harus memilih bagaimana menggambarkan jenis dan perwatakan tokoh dalam cerita sehingga mencapai beberapa pertimbangan tersebut.
Teknik
pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro (2009: 195-210) terbagi menjadi dua, yaitu
teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik dramatik terbagi menjadi
delapan, yaitu teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, teknik arus
kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik pelukisan
latar, dan teknik pelukisan fisik. Berikut ulasan dari teknik-teknik tersebut.
a) Teknik Ekspositori
a) Teknik Ekspositori
Teknik Ekspositori adalah
teknik pendeskripsian, uraian, maupun penjelasan pada suatu tokoh yang
diberikan secara langsung oleh pengarang. Pelukisan terhadap tokoh dijelaskan
oleh pengarang dengan sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca.
b)
Teknik Dramatik
Pada teknik dramatik,
pendeskripsian sifat dan tingkah laku tokoh digambarkan tidak secara langsung,
melainkan dengan aktivitas atau tindakan verbal melalui kata-kata (percakapan
dan kata-kata dalam pikiran), tindakan nonverbal atau tindakan fisik, dan
melalui setiap peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut atau mengacu pada
latar. Dari beberapa teknik penggambaran tokoh tersebut dalam teknik pelukisan
tokoh melalui teknik dramatik dapat dibagi menjadi beberapa teknik. Berikut
ulasan teknik-teknik tersebut.
c)
Teknik Cakapan
Teknik cakapan merupakan
teknik pelukisan tokoh melalui percakapan antar tokoh. Percakapan yang efektif
dan fungsional dapat menunjukkan perkembangan alur sekaligus dapat
menggambarkan perwatakan dan segala pandangan hidup dari suatu tokoh.
d)
Teknik Tingkah Laku
Teknik pelukisan melalui
tingkah laku adalah penggambaran tokoh yang dilakukan pengarang dengan
pendeskripsian tindakan fisik atau bersifat nonverbal. Tindakan tersebut
dilandasi dengan tanggapan, reaksi, sifat, dan sikap suatu tokoh terhadap
peristiwa yang terjadi sehingga dapat melukiskan jati dirinya.
e)
Teknik Pikiran dan Perasaan
Kondisi pikiran dan
perasaan dapat menjadi indikator perwatakan dari suatu tokoh. Tindakan baik
verbal maupun nonverbal merupakan bentuk konkret hasil pemikiran dan perasaan
dari tokoh tersebut dalam memilih penyikapan terhadap permasalahan yang
dihadapi. Melalui hal tersebut perwatakan dan kepribadian dari suatu tokoh
dapat diketahui.
f)
Teknik Reaksi Tokoh
Reaksi tokoh terhadap
suatu kejadian, masalah, keadaan, kata-kata, dan sikap tingkah laku tokoh lain
dapat mencerminkan perwatakan dari tokoh tersebut. Rangsangan yang diimbangi
dengan reaksi suatu tokoh akan menentukan kepribadiannya dalam cerita tersebut.
g)
Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain adalah
tanggapan yang diberikan suatu tokoh terhadap tokoh utama. Dari reaksi tokoh
lain inilah perwatakan tokoh utama akan teridentifikasi. Tokoh lain akan
memberikan reaksi berupa pandangan, sikap, pendapat, dan penilaian tentang
tokoh utama. Secara tidak langsung akan terlihat kepribadian suatu tokoh utama
dari reaksi tokoh lain yang demikian.
c.
Latar
Latar menurut Abrams
(1981: 175 via Nurgiantoro, 2009:
216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Siswandarti (2009: 44) juga menegaskan bahwa latar adalah
pelukisan tempat, waktu, dan situasi atau suasana terjadinya suatu peristiwa.
Berdasarkan pengertian tersebut latar dapat disimpulkan sebagai pelukisan
tempat, waktu, dan suasana pada suatu peristiwa yang ada di cerita fiksi.
Menurut Nurgiyantoro (2009: 220) latar dibedakan menjadi dua, latar netral dan latar tipikal. Latar netral merupakan latar yang tidak mendeskripsikan secara khas dan tidak memiliki sifat fungsional. Latar netral tidak menjelaskan secara pasti cerita terjadi dimana, kapan, dan dalam lingkungan sosial yang seperti apa. Contoh latar netral seperti di desa, kota, hutan, suatu waktu, dan lain sebagainya. Lain halnya dengan latar tipikal, latar tipikal menjelaskan secara konkret sifat khas latar tertentu. Kejelasan latar tipikal memudahkan pembaca dalam pengimajinasian, karena pada latar tipikal ada keterkaitan yang rapat dengan realitas pada kehidupan nyata.
1) Unsur-unsur Latar
Menurut Nurgiyantoro (2009: 220) latar dibedakan menjadi dua, latar netral dan latar tipikal. Latar netral merupakan latar yang tidak mendeskripsikan secara khas dan tidak memiliki sifat fungsional. Latar netral tidak menjelaskan secara pasti cerita terjadi dimana, kapan, dan dalam lingkungan sosial yang seperti apa. Contoh latar netral seperti di desa, kota, hutan, suatu waktu, dan lain sebagainya. Lain halnya dengan latar tipikal, latar tipikal menjelaskan secara konkret sifat khas latar tertentu. Kejelasan latar tipikal memudahkan pembaca dalam pengimajinasian, karena pada latar tipikal ada keterkaitan yang rapat dengan realitas pada kehidupan nyata.
1) Unsur-unsur Latar
Unsur-unsur latar menurut
Nurgiyantoro (2009: 227) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat, waktu, dan
sosial. Berikut ulasan tentang unsur-unsur latar tersebut.
a) Latar Tempat
Latar tempat adalah suatu
unsur latar yang mengarah pada lokasi dan menjelaskan dimana peristiwa itu
terjadi. Bila latar tersebut termasuk latar tipikal, akan disebutkan nama dari
tempat tersebut. Bisa berupa nama terang seperti Yogyakarta, Jakarta, Madiun,
atau nama inisial seperti, Y, J, M.
b) Latar Waktu
Latar waktu merupakan
unsur latar yang mengarah pada kapan terjadinya suatu peristiwa-peristiwa di
dalam sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro: 2009: 230). Waktu dalam latar dapat
berupa masa terjadinya peristiwa tersebut dikisahkan, waktu dalam hitungan
detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan lain sebagainya. Memahami latar
waktu harus dikaitkan dengan unsur latar yang lain, karena sudah menjadi syarat
utama bagi karya fiksi memiliki sifat yang padu.
c) Latar Sosial
Latar sosial adalah latar
yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial masyarakat yang meliputi
masalah-masalah dan kebiasan-kebiasaan pada masyarakat tersebut. Latar sosial
dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, cara berpikir,
dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2009: 233). Penggunaan bahasa dan nama-nama
tokoh juga dapat diidentifikasi menjadi latar sosial.
d. Sudut Pandang
Unsur intrinsik karya
fiksi berikutnya adalah sudut pandang. Nurgiyantoro (2009: 246) berpendapat
bahwa sudut pandang adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan
tindakan-tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam
cerita. Siswandarti (2009: 44) juga sependapat bahwa sudut pandang adalah
posisi pengarang dalam cerita fiksi.
Sudut pandang menurut
Nurgiyantoro (2009: 256) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sudut pandang
persona ketiga: dia dan sudut pandang persona pertama: aku. Berikut penjabaran
tentang sudut pandang tersebut.
1)
Sudut Pandang Persona Ketiga: Dia
Penceritaan dengan
menggunakan sudut pandang persona ketiga adalah penceritaan yang meletakkan
posisi pengarang sebagai narator dengan menyebutkan nama-nama tokoh atau
menggunakan kata ganti ia, dia, dan mereka. Sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi
menjadi dua, yaitu “dia” mahatahu dan “dia” terbatas, “dia” sebagai pengamat.
Berikut penjabaran tentang sudut pandang-sudut pandang tersebut.
a) “Dia” Mahatahu
Pada sudut pandang persona
ketiga “dia” mahatahu pengarang menjadi narator dan dapat menceritakan hal apa
saja yang menyangkut tokoh “dia”. Narator mengetahui berbagai hal tentang
tokoh, peristiwa, dan tindakan, sampai pada latar belakang tindakan tersebut
dilakukan. Narator menguasai semua hal tentang tokoh-tokoh “dia” baik yang
sudah berwujud tindakan maupun baru berupa pikiran (Abrams, 1981: 143 via Nurgiyantoro, 2009: 258).
b) “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai pengamat
“Dia” terbatas merupakan
sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai narator yang mengetahui apa
yang dilihat, didengar, dipikir, dan dirasakan terbatas pada satu orang tokoh
“dia” (Stanton, 1965: 26 via Nurgiyantoro, 2009: 259). Karena fokus dari
pengarang hanya pada satu tokoh “dia”, maka selanjutnya pengarang akan menjadi
pengamat bagi tokoh lain. Pengarang yang bertindak sebagai narator akan
menceritakan apa yang bisa ditangkap oleh idera penglihat dan indera pendengar
saja. Narator dalam cerita ketika menggunakan sudut pandang ini hanya akan
menjadi perekam dari kegiatan-kegiatan tokoh-tokoh lain selain tokoh “dia” yang
menjadi fokus perhatian.
2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Sudut pandang persona
pertama “aku” merupakan sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai “aku”
yang ikut dalam cerita. Kata ganti “dia” pada sudut pandang ini adalah “aku”
sang pengarang. Pada sudut pandang ini kemahatahuan pengarang terbatas.
Pengarang sebagai “aku” hanya dapat mengetahui sebatas apa yang bisa dia lihat,
dengar, dan rasakan berdasarkan rangsangan peristiwa maupun tokoh lain
(Nurgiyantoro, 2009: 262).
Menurut Nurgiyantoro
(2009: 263) sudut pandang persona “aku” dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sudut pandang “aku” tokoh utama dan sudut pandang “aku” tokoh tambahan. Berikut
ulasan tentang dua sudut pandang tersebut.
a) “Aku” Tokoh Utama”
Dalam sudut pandang “aku”
tokoh utama, pengarang bertindak sebagai pelaku utama dalam cerita serta
praktis menjadi pusat kesadaran dan penceritaan. ”Aku” tokoh utama merupakan
tokoh protagonis dan memiliki pengetahuan terbatas terhadap apa yang ada di
luar dirinya (Nurgiyantoro, 2009: 263).
b) “Aku” Tokoh Tambahan
“Aku” tokoh tambahan
merupakan sudut pandang yang menempatkan pengarang
sebagai tokoh “aku” dalam cerita sebagai tokoh tambahan. Tokoh tambahan ini
akan bercerita dan mendampingi tokoh utama menceritakan berbagai pengalamannya,
setelah cerita tokoh utama selesai, tokoh tambahan kembali melanjutkan kisahnya
(Nurgiyantoro, 2009: 264).
3)
Sudut Pandang Campuran
Sudut pandang campuran
adalah sudut pandang yang menggabungkan antara sudut pandang orang ketiga “dia”
dan sudut pandang orang pertama “ aku”. Pengarang melakukan kreativitas dalam
penceritaan dengan mencampurkan sudut pandang tersebut. Penggunaan sudut
pandang ini tentu berdasarkan kebutuhan. Tidak semua penceritaan menggunakan
sudut pandang ini, namun tergantung dengan efek yang diinginkan oleh pengarang
saja (Nurgiyantoro, 2009: 267).
e. Gaya Bahasa
Bahasa sesuai dengan
pendapat Siswandarti (2009: 44) merupakan jenis bahasa yang dipakai pengarang,
sebagai contoh misalnya gaya pop untuk remaja, gaya komunikatif, atau jenis
bahasa yang kaku (seperti pada cerita terjemahan). Nurgiyantoro (2009: 272)
juga berpendapat bahwa bahasa merupakan sarana pengungkapan yang komunikatif
dalam sastra.
Pada novel juga terdapat cara pengucapan bahasa yang sering disebut gaya bahasa. Gaya bahasa (style) merupakan cara pengucapan pengarang dalam mengemukakan sesuatu terhadap pembaca (Ambrams, 1981: 190-1 via Nurgiyantoro, 2009: 276). Dalam stile juga terdapat beberapa unsur seperti, leksikal, struktur kalimat, retorika, dan penggunaan kohesi. Berikut penjabaran tentang unsur-unsur tersebut menurut Nurgiyantoro (2009: 290-309).
1) Leksikal
Unsur leksikal dapat
disebut juga sebagai diksi atau pilihan kata. Pengarang akan menggunakan
pilihan kata tertentu dalam mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
novel. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan efek keindahan melalui segi
bentuk dan makna serta memberikan kepahaman kepada pembaca tentang isi cerita
secara utuh, karena pada dasarnya karya fiksi merupakan dunia kata yang dapat
ditafsirkan.
2) Struktur Kalimat
Struktur kalimat atau
unsur gramatikal adalah sebuah gagasan yang diungkapkan pengarang melalui
bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosakatanya.Struktur kalimat tetap
harus mengedepankan kebermaknaan tanpa menghilangkan sifat estetis yang ingin
dicapai.
3) Retorika
Retorika merupakan suatu
cara pengarang mengungkapkan cerita melaui pendayagunaan unsur-unsur retorika
yang berupa pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Berikut penjelasan
tentang unsur-unsur tersebut.
a) Pemajasan
Pemajasan adalah teknik
pengungkapan bahasa atau penggayabahasaan yang tidak mengarah pada makna
harfiah malainkan makna yang tersirat didalam kalimat-kalimat tersebut.
Pemajasan yang merupakan bahasa kias sengaja diciptakan pengarang untuk
ditafsirkan oleh pembaca terkait dengan peristiwa-peristiwa agar terkesan
estetis serta mendukung suasana dan nada tertentu dalam cerita.
b) Penyiasatan Struktur
Penyiasatan struktur
merupakan gaya pengarang dalam memadukan unsur retoris dan pemajasan yang bisa
berbentuk pengulangan (pengulangan kata, frase, dan kalimat) maupun
bentuk-bentuk yang lain seperti, repetisi, pararelisme, anaphora,
polisindenton, asindenton, antithesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan
pertanyaan retoris. Dari penyiasatan struktur yang seperti itu diharapkan novel
memiliki nilai keindahan yang memanjakan pembaca menikmati isi cerita.
c) Pencitraan
Pencitraan dapat diartikan
dengan penginderaan. Dalam karya fiksi akan terdapat perasaan indera pada tubuh
ikut menerima rangsangan terhadap peritiwa-peristiwa yang diungkapkan. Pembaca
akan dibawa kepada pengalaman melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan
kinestetik secara imajinasi. Pembaca harus menghadirkan pengalaman penginderaan
dalam menafsirkan tiap peristiwa agar
tersampaikan makna yang dimaksudkan oleh pengarang.
d) Kohesi
Kohesi merupakan unsur
penyiasatan struktur yang bersifat menghubungkan atau bertugas sebagai pengait
antara kalimat satu dengan kalimat yang lain. Kohesi bisa berupa kata sambung
dalam bentuk preposisi maupun konjungsi, dapat juga berupa kelompok kata
seperti, oleh karena, akan tetapi, dan jadi.
f. Amanat
f. Amanat
Amanat atau nilai moral
merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap,
tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui
tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 via
Nurgiyantoro, 2009: 321).
Amanat
menurut Siswandarti (2009: 44) adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan
pengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat. Berdasarkan pengertian
tersebut Amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui
keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun
bahan perenungan oleh pembaca.
Pustaka Acuan
Siswandarti. 2009. Panduan Belajar Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Yogyakarta:
Dinas Pendidikan Menengah dan Nonformal Kabupaten Bantul.